PERNIKAHAAN DALAM ISLAM
oleh Nur'aini
a.
Pengertian
nikah
Pernikahan atau nikah artinya adalah
terkumpul dan menyatu. Menurut istilah lain juga dapat berarti Ijab Qobul (akad nikah) yang mengharuskan
perhubungan antara sepasang manusia yang diucapkan oleh kata-kata yang
ditujukan untuk melanjutkan ke pernikahan, sesusai peraturan yang diwajibkan
oleh Islam.[1] Kata zawaj digunakan dalam al-Quran artinya adalah pasangan yang
dalam penggunaannya pula juga dapat diartikan sebagai pernikahan, Allah menjadikan manusia itu saling berpasangan,
menghalalkan pernikahan dan mengharamkan zina.
b. Hukum nikah
Hukum
pernikahan bersifat kondisional, artinya berubah menurut situasi dan kondisi
seseorang dan lingkungannya. Hukum nikah ini dibagi kebeberapa bentuk,
diantaranya :
1. Jaiz,
artinya boleh kawin dan boleh juga tidak, jaiz ini merupakan hukum dasar dari
pernikahan. Perbedaan situasi dan kondisi serta motif yang mendorong terjadinya
pernikahan menyebabkan adanya hukum-hukum nikah berikut.
2. Sunat,
yaitu apabila seseorang telah berkeinginan untuk menikah serta memiliki
kemampuan untuk memberikan nafkah lahir maupun batin.
3. Wajib,
yaitu bagi yang memiliki kemampuan memberikan nafkah dan ada kekhawatiran akan
terjerumus kepada perbuatan zina bila tidak segera melangsungkan perkawinan.
Atau juga bagi seseorang yang telah memiliki keinginan yang sangat serta
dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam perzinahan apabila tidak segera menikah.
4. Makruh,
yaitu bagi yang tidak mampu memberikan nafkah.
5. Haram,
yaitu apabila motivasi untuk menikah karena ada niatan jahat, seperti untuk
menyakiti istrinya, keluarganya serta niat-niat jelek lainnya.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
senantiasa menganjurkan kaum muda untuk menyegerakan menikah sehingga mereka
tidak berkubang dalam kemaksiatan, menuruti hawa nafsu dan syahwatnya. Karena,
banyak sekali keburukan akibat menunda pernikahan. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara
kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah! Karena menikah itu lebih
menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa
yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa) karena shaum itu dapat
membentengi dirinya.”
c. Hikmah pernikahan
Anjuran Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk segera menikah
mengandung berbagai manfaat, sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama, di
antaranya:
1. Melaksanakan
Perintah Allah Ta’ala.
2. Melaksanakan
Dan Menghidupkan Sunnah Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam.
3. Dapat
Menundukkan Pandangan.
4. Menjaga
Kehormatan Laki-Laki Dan Perempuan.
5. Terpelihara
Kemaluan Dari Beragam Maksiat.
6. Ia Juga Akan
Termasuk Di Antara Orang-Orang Yang Ditolong Oleh Allah.
7. Dengan
Menikah, Seseorang Akan Menuai Ganjaran Yang Banyak. Bahkan, Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa seseorang yang bersetubuh
dengan isterinya akan mendapatkan ganjaran. Beliau bersabda, “Artinya : … dan pada persetubuhan salah
seorang dari kalian adalah shadaqah…”
8. Mendatangkan
Ketenangan Dalam Hidupnya Yaitu dengan
terwujudnya keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Sebagaimana firman Allah
‘Azza wa Jalla:
"Artinya : Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” [Ar-Ruum : 21]
"Artinya : Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” [Ar-Ruum : 21]
9. Memiliki
Keturunan Yang Shalih
10. Menikah
Dapat Menjadi Sebab Semakin Banyaknya Jumlah Ummat Nabi Muhammad Shallallaahu
‘Alaihi Wa Sallam Termasuk anjuran Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
adalah menikahi wanita-wanita yang subur, supaya ia memiliki keturunan yang
banyak.
d.
Perintah
memilih pasangan
Terikatnya jalinan cinta dua orang insan dalam
sebuah pernikahan adalah perkara yang sangat diperhatikan dalam syariat Islam
yang mulia ini. Bahkan kita dianjurkan untuk serius dalam permasalahan ini dan
dilarang menjadikan hal ini sebagai bahan candaan atau main-main.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam bersabda,
ثلاث جدهن جد وهزلهن جد: النكاح والطلاق والرجعة
“Tiga hal yang seriusnya dianggap benar-benar
serius dan bercandanya dianggap serius: nikah, cerai dan ruju.'” (Diriwayatkan oleh Al Arba’ah kecuali
An Nasa’i. Dihasankan oleh Al Albani dalam Ash Shahihah)
Salah satunya dikarenakan menikah berarti
mengikat seseorang untuk menjadi teman hidup tidak hanya untuk satu-dua hari
saja bahkan seumur hidup, insya Allah. Jika demikian, merupakan salah satu
kemuliaan syariat Islam bahwa orang yang hendak menikah diperintahkan untuk
berhati-hati, teliti dan penuh pertimbangan dalam memilih pasangan hidup serta menimbang anjuran-anjuran agama dalam memilih pasangan.
Setiap
muslim yang ingin beruntung dunia akhirat hendaknya mengidam-idamkan sosok
suami dan istri dengan kriteria sebagai berikut:
1. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya
Ini adalah kriteria yang paling utama dari
kriteria yang lain. Maka dalam memilih calon pasangan hidup, minimal harus
terdapat satu syarat ini. Karena Allah Ta’ala berfirman :“Sesungguhnya yang
paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertaqwa.” (QS. Al
Hujurat: 13)
Sedangkan taqwa adalah menjaga diri dari adzab
Allah Ta’ala dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Maka
hendaknya seorang muslim berjuang untuk mendapatkan calon pasangan yang paling
mulia di sisi Allah, yaitu seorang yang taat kepada aturan agama. Rasulullah shallallahu’alaihi
wasallam pun menganjurkan memilih istri yang baik agamanya : “Wanita
biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya,
karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang
bagus agamanya (keislamannya). Kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi.”
(HR. Bukhari-Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga bersabda,
“Jika datang kepada kalian
seorang lelaki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia.
Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.”
(HR. Tirmidzi. Al Albani berkata dalam Adh Dho’ifah bahwa hadits ini hasan
lighoirihi)
Jika demikian, maka ilmu agama adalah poin
penting yang menjadi perhatian dalam memilih pasangan. Karena bagaimana mungkin
seseorang dapat menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, padahal
dia tidak tahu apa saja yang diperintahkan oleh Allah dan apa saja yang
dilarang oleh-Nya? Dan disinilah diperlukan ilmu agama untuk mengetahuinya.
Maka pilihlah calon pasangan hidup yang
memiliki pemahaman yang baik tentang agama. Karena salah satu tanda orang yang
diberi kebaikan oleh Allah adalah memiliki pemahaman agama yang baik.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda : “Orang yang
dikehendaki oleh Allah untuk mendapat kebaikan akan dipahamkan terhadap ilmu
agama.” (HR. Bukhari-Muslim)
2. Al Kafa’ah (Sekufu)
Yang dimaksud dengan sekufu atau al kafa’ah
-secara bahasa- adalah sebanding dalam hal kedudukan, agama, nasab, rumah dan
selainnya (Lisaanul Arab, Ibnu Manzhur). Al Kafa’ah secara syariat menurut mayoritas ulama adalah sebanding dalam agama, nasab
(keturunan), kemerdekaan dan pekerjaan. (Dinukil dari Panduan Lengkap Nikah,
hal. 175). Atau dengan kata lain kesetaraan dalam agama dan status sosial.
Banyak dalil yang menunjukkan anjuran ini. Di antaranya firman Allah Ta’ala ;
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ
وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ
“Wanita-wanita yang keji untuk
laki-laki yang keji. Dan laki-laki yang keji untuk wanita-wanita yang keji
pula. Wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik. Dan laki-laki yang
baik untuk wanita-wanita yang baik pula.” (QS. An Nur: 26)
Al Bukhari pun dalam kitab shahihnya membuat
Bab Al Akfaa fid Diin (Sekufu dalam agama) kemudian di dalamnya terdapat
hadits ; “Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena
kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih
karena agamanya (keislamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan
merugi.” (HR. Bukhari-Muslim)
Salah satu hikmah dari anjuran ini adalah
kesetaraan dalam agama dan kedudukan sosial dapat menjadi faktor kelanggengan
rumah tangga. Hal ini diisyaratkan oleh kisah Zaid bin Haritsah radhiyallahu
‘anhu, seorang sahabat yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, dinikahkan dengan Zainab binti Jahsy radhiyallahu
‘anha. Zainab adalah wanita terpandang dan cantik, sedangkan Zaid adalah
lelaki biasa yang tidak tampan. Walhasil, pernikahan mereka pun tidak
berlangsung lama. Jika kasus seperti ini terjadi pada sahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, apalagi kita?
3.
Menyenangkan jika dipandang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam hadits yang telah disebutkan, membolehkan kita untuk menjadikan faktor
fisik sebagai salah satu kriteria memilih calon pasangan. Karena paras yang
cantik atau tampan, juga keadaan fisik yang menarik lainnya dari calon pasangan
hidup kita adalah salah satu faktor penunjang keharmonisan rumah tangga. Maka
mempertimbangkan hal tersebut sejalan dengan tujuan dari pernikahan, yaitu
untuk menciptakan ketentraman dalam hati. Allah Ta’ala berfirman ;
“Dan di antara tanda kekuasaan Allah
ialah Ia menciptakan bagimu istri-istri dari jenismu sendiri agar kamu merasa
tenteram denganya.”
(QS. Ar Ruum: 21)
Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam juga menyebutkan 4 ciri wanita sholihah yang salah satunya
; “Jika memandangnya, membuat suami senang.” (HR. Abu Dawud. Al Hakim
berkata bahwa sanad hadits ini shahih)
Oleh karena itu, Islam menetapkan adanya nazhor, yaitu melihat wanita yang hendak
dilamar. Sehingga sang lelaki dapat mempertimbangkan wanita yang hendak
dilamarnya dari segi fisik. Sebagaimana ketika ada seorang sahabat mengabarkan
pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia akan melamar
seorang wanita Anshar. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sudahkah engkau melihatnya?” Sahabat
tersebut berkata, “Belum.” Beliau lalu bersabda, “Pergilah kepadanya dan
lihatlah ia, sebab pada mata orang-orang Anshar terdapat sesuatu.” (HR. Muslim)
4. Subur (mampu menghasilkan keturunan)
Di antara hikmah dari pernikahan adalah untuk
meneruskan keturunan dan memperbanyak jumlah kaum muslimin dan memperkuat izzah
(kemuliaan) kaum muslimin. Karena dari pernikahan diharapkan lahirlah anak-anak
kaum muslimin yang nantinya menjadi orang-orang yang shalih yang mendakwahkan
Islam. Oleh karena itulah, Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menganjurkan untuk memilih calon istri yang subur ;
تزوجوا الودود الولود فاني مكاثر بكم الأمم
“Nikahilah wanita yang penyayang dan subur!
Karena aku berbangga dengan banyaknya ummatku.” (HR. An Nasa’I, Abu Dawud. Dihasankan oleh Al
Albani dalam Misykatul Mashabih)
Karena alasan ini juga sebagian fuqoha (para
pakar fiqih) berpendapat bolehnya fas-khu an nikah (membatalkan
pernikahan) karena diketahui suami memiliki impotensi yang parah. As Sa’di
berkata: “Jika seorang istri setelah pernikahan mendapati suaminya ternyata
impoten, maka diberi waktu selama 1 tahun, jika masih dalam keadaan demikian,
maka pernikahan dibatalkan (oleh penguasa)” (Lihat Manhajus Salikin, Bab
‘Uyub fin Nikah hal. 202)
e. Penyebab haramnya sebuah pernikahan
Perempuan yang
diharamkan menikah oleh laki-laki disebabkan karena keturunannya (haram
selamanya) serta dijelaskan dalam surah an-Nisa: Ayat 23 yang berbunyi,
“Diharamkan kepada kamu menikahi ibumu, anakmu, saudaramu, anak saudara
perempuan bagi saudara laki-laki, dan anak saudara perempuan bagi saudara
perempuan.”:
Rukun nikah
- calon Pengantin laki-laki
- calon Pengantin perempuan
- Wali bagi perempuan
- Dua orang saksi laki-laki yang adil
- Mahar
- Ijab dan kabul (akad nikah)
Syarat calon suami
- Islam
- Laki-laki yang tertentu
- Bukan lelaki mahram dengan calon istri
- Mengetahui wali yang sebenarnya bagi akad nikah tersebut
- Bukan dalam ihram haji atau umroh
- Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
- Tidak mempunyai empat orang istri yang sah dalam suatu waktu
- Mengetahui bahwa perempuan yang hendak dinikahi adalah sah dijadikan istri
Syarat calon istri
- Islam atau Ahli Kitab
- Perempuan yang tertentu
- Bukan perempuan mahram dengan calon suami
- Bukan seorang banci
- Akil baligh (telah pubertas)
- Bukan dalam berihram haji atau umroh
- Tidak dalam iddah
- Bukan istri orang
Syarat wali
- Islam, bukan kafir dan murtad
- Lelaki dan bukannya perempuan
- Telah pubertas
- Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
- Bukan dalam ihram haji atau umroh
- Tidak fasik
- Tidak cacat akal pikiran, gila, terlalu tua dan sebagainya
- Merdeka
- Tidak dibatasi kebebasannya ketimbang membelanjakan hartanya
Sebaiknya calon istri
perlu memastikan syarat wajib menjadi wali. Jika syarat-syarat wali terpenuhi
seperti di atas maka sahlah sebuah pernikahan itu.Sebagai seorang mukmin yang
sejati, kita hendaklah menitik beratkan hal-hal yag wajib seperti ini.Jika
tidak, kita hanya akan dianggap hidup dalam berzinahan selamanya.
Jenis-jenis wali
- Wali mujbir: Wali dari bapaknya sendiri atau kakek dari bapa yang mempunyai hak mewalikan pernikahan anak perempuannya atau cucu perempuannya dengan persetujuannya (sebaiknya perlu mendapatkan kerelaan calon istri yang hendak dinikahkan)
- Wali aqrab: Wali terdekat yang telah memenuhi syarat yang layak dan berhak menjadi wali
- Wali ab’ad: Wali yang sedikit mengikuti susunan yang layak menjadi wali, jikalau wali aqrab berkenaan tidak ada. Wali ab’ad ini akan digantikan oleh wali ab’ad lain dan begitulah seterusnya mengikut susunan tersebut jika tidak ada yang terdekat lagi.
- Wali raja/hakim: Wali yang diberi hak atau ditunjuk oleh pemerintah atau pihak berkuasa pada negeri tersebut oleh orang yang telah dilantik menjalankan tugas ini dengan sebab-sebab tertentu
Syarat-syarat saksi
- Sekurang-kurangya dua orang
- Islam
- Berakal
- Telah pubertas
- Laki-laki
- Memahami isi lafal ijab dan qobul
- Dapat mendengar, melihat dan berbicara
- Adil (tidak melakukan dosa-dosa besar dan tidak terlalu banyak melakukan dosa-dosa kecil)
- Merdeka
Syarat ijab
- Pernikahan nikah ini hendaklah tepat
- Tidak boleh menggunakan perkataan sindiran
- Diucapkan oleh wali atau wakilnya
- Tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti mut'ah (nikah kontrak atau pernikahan (ikatan suami istri) yang sah dalam tempo tertentu seperti yang dijanjikan dalam persetujuan nikah muat'ah)
- Tidak secara taklik (tidak ada sebutan prasyarat sewaktu ijab dilafalkan)
Contoh bacaan Ijab:
Wali/wakil wali berkata kepada calon suami: "Saya nikahkan anda dengan
Nisa binti Abdullah dengan mas kawin berupa cincin emas dibayar tunai".
Syarat qobul
- Ucapan mestilah sesuai dengan ucapan ijab
- Tidak ada perkataan sindiran
- Dilafalkan oleh calon suami atau wakilnya (atas sebab-sebab tertentu)
- Tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti mutaah(seperti nikah kontrak)
- Tidak secara taklik(tidak ada sebutan prasyarat sewaktu qobul dilafalkan)
- Menyebut nama calon istri
- Tidak ditambahkan dengan perkataan lain
Contoh sebutan
qabul (akan dilafazkan oleh bakal suami):"Saya terima nikahnya dengan Nisa
binti Abdullah dengan mas kawin berupa seperangkap alat salat dibayar
tunai" atau "Saya terima Nisa binti Abdullah sebagai istri
saya".
Setelah qobul
dilafalkan Wali/wakil wali akan mendapatkan kesaksian dari para hadirin
khususnya dari dua orang saksi pernikahan dengan cara meminta saksi mengatakan
lafal "sah" atau perkataan lain yang sama maksudya dengan perkataan
itu.
Selanjutnya
Wali/wakil wali akan membaca doa selamat agar pernikahan suami istri itu kekal
dan bahagia sepanjang kehidupan mereka serta doa itu akan diAminkan oleh para
hadirin
Bersamaan itu
pula, mas kawin/mahar akan diserahkan kepada pihak istri dan selanjutnya berupa
cincin akan dipakaikan kepada jari cincin istri oleh suami sebagai tanda
dimulainya ikatan kekeluargaan atau simbol pertalian kebahagian suami
istri.Aktivitas ini diteruskan dengan suami mencium istri.Aktivitas ini disebut
sebagai "Pembatalan Wudhu".Ini karena sebelum akad nikah dijalankan
suami dan isteri itu diminta untuk berwudhu
terlebih dahulu.
Suami istri
juga diminta untuk salat sunat nikah sebagai tanda syukur setelah pernikahan
berlangsung. Pernikahan Islam yang memang amat mudah karena ia tidak perlu
mengambil masa yang lama dan memerlukan banyak aset-aset pernikahan disamping
mas kawin,hantaran atau majelis umum (walimatul urus)yang tidak perlu
dibebankan atau dibuang.
f.
Hak dan Kewajiban Suami dan Istri
Menjadi
suami isteri yang baru merupakan kondisi yang berbeda sama sekali dibanding
ketika bujangan. Menjadi suami isteri berarti bertemunya dua watak, perasaan,
keinginan, kebiasaan, dan kesenangan yang berbeda. Maka yang harus dilakukan
adalah berupaya untuk saling memahami dan menyesuaikan diri serta membuat
kesepakatan yang sama untuk tujuan sebuah keluarga.
Rumah
tangga yang bahagia adalah rumah tangga yang dibangun di atas tujuan mencari ridho Alloh subhanahu wa
ta'ala dan masing-masing pasangan memahami tugas, peran, fungsi, hak dan
kewajiban serta tanggung jawabnya di dalam rumah tangga.
·
Hak dan Kewajiban Suami
Setiap orang tua mempunyai hak atas anaknya. Demikian
pula seorang anak mempunyai hak atas ayahnya. Kewajiban-kewajiban seorang Ayah
adalah:
1. Mendapatkan calon ibu yang sholihah
yang akan mengandung, menyusui dan mendidik putra-putrinya. Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam memberitahukan bahwa biasanya suami itu memilih wanita yang
ingin dijadikan isteri dengan empat alasan, karena kecantikkannya, nasabnya,
hartanya dan agama-nya dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan
agar calon suami menitikberatkan pada faktor agama.
2. Seorang suami mengerti cara
menggauli istrinya.
3. Seorang suami ketika awal menemui
istrinya hendaklah berdo’a meminta kebaikan dari istri yang diberikan-Nya, lalu
meletakkan tangannya di atas ubun-ubun kepala isterinya dengan berdoa, kemudian
sholat bersamanya dua raka’at.
4. Selanjutnya ia mendatangi isterinya
dengan menyenangkan hati isterinya, sehingga suasana nyaman, hangat, dan indah
berkesan.
5. Jika ia hendak mendatanginya, maka
hendaklah ia (suami) berdo’a,
“Ya Allah,
jauhkanlah kami dari syaithan dan jauh-kanlah syaithon dari apa-apa yang Engkau
rizqikan kepada kami.” Apabila sang suami telah mencapai kepuasan, maka
hendaklah ia menunggu sampai sang isteri mencapai kepuasannya.
6. Suami tidak memaksa ketika sang
isteri sedang tidak tenang hatinya atau sedang kelelahan karena seharian
mengurus rumah dan anak.
7. Suami mendorong isteri untuk
memperbanyak kelahiran atau mempunyai anak. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda, “Nikahilah perempuan
yang penyayang dan dapat mem-punyai banyak anak (subur), karena aku bangga
dengan sebab banyaknya kalian di hadapan para nabi nanti pada hari Kiamat.”
(HR. Ahmad No: 13594)
8. Memimpin anak-anak dan isterinya,
menjadi orang yang dituakan, hakim, sekaligus pendidik, sehingga tidak ada
anggota keluarga yang menyimpang akhlak dan adabnya. Firman Alloh Subhanahu wa
Ta'ala, “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Alloh
Subhanahu wa Ta'ala telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menaf-kahkan
sebagian dari harta mereka.” (QS.
An-Nisa, 4:34)
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan. Di dalamnya ada malaikat yang kasar lagi bengis yang tidak mengingkari terhadap apa yang diperintahkan kepadanya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS.At-Tahrim:6)
Biasakan dirimu dengan ketaatan dan kebaikan, kemudian ajarkan kepada anak-anak dan isterimu kebaikan dan ketaatan itu.
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan. Di dalamnya ada malaikat yang kasar lagi bengis yang tidak mengingkari terhadap apa yang diperintahkan kepadanya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS.At-Tahrim:6)
Biasakan dirimu dengan ketaatan dan kebaikan, kemudian ajarkan kepada anak-anak dan isterimu kebaikan dan ketaatan itu.
9. Memberi nafkah dengan memberikan
makanan yang halal, pakaian dan tempat tinggal. Firman Allah, “Hendaknya
orang yang mempunyai kelelua-saan itu memberikan nafkah sesuai dengan
keleluasaannya.” (QS: At-Thalaq: 7)
10. Menyediakan rumah atau tempat tinggal
untuk istri dan anaknya.
11. Menjadi teladan bagi anak dan istri
dalam kebaikan dan ketakwaan kepada Alloh Subhananu wa Ta'ala. Dalam bimbingan
suami yang sholih dan istri yang sholihah sangat memungkinkan bagi anak-anak
untuk tumbuh dan berkembang dalam suasana yang baik dan penuh keimanan.
12. Menghormati orang tua dan keluarga
istri serta kerabatnya. Sebab bila seseorang menikah, dia bukanlah menikah
dengan istrinya saja, tetapi dia juga mengambil saudara dan kerabat istrinya
sebagai saudara dan kerabatnya yang harus disayangi juga.
13. Menganjurkan dan menggairahkan
isteri untuk meningkatkan wawasan dan keilmuan. Menghadiri majlis ilmu dan
mempelajari ilmu yang sesuai dengan kodrat wanita, dengan tetap memperhatikan
keamanan dan tidak adanya ikhtilat dengan laki-laki.
14. Menyediakan waktu khusus bagi istri
dan mendengarkan keluhan-keluhannya. Menghargai pekerjaan rumahnya dan
pemeliharaan anak-anaknya. Jika mengetahui ia melakukan kekeliruan tidak segera
mencelanya, tetapi menasehatinya dengan cara yang baik.
15. Tidak mencelanya maupun
membanding-bandingkan-nya dengan wanita lain yang lebih baik. Sebab kita pun
sangat tidak senang, jika dibanding-bandingkan dengan orang lain, karena setiap
orang punya kekurangan dan kelebihan, demikian juga sang istri.
16. Mengajak istri dan anak-anak
mengunjungi orang-orang sholih untuk mencontoh mereka. Mengunjungi guru dan
meminta nasehat darinya.
17. Mengajak istri dan anak-anak untuk
sesekali mengisi liburan dengan rekreasi ke tempat yang sejuk dan menyegarkan
fisik dan pikiran. Mengadakan permainan yang menggembirakan seperti olah raga
dan bermain kejar-kejaran dengan istri dan anak-anak.
18. Memberikan hadiah yang mendidik
kepada isteri dan anak jika melakukan sesuatu yang baik. Tidak mengukur hadiah
dari mahalnya harga, tetapi dari perhatian yang tepat, saat yang sesuai dan
disaat mereka terlihat meng-harapkan perhatian.
· Hak dan Kewajiban Istri
Hak istri
adalah:
1. Mendapatkan
perlakuan yang lembut dan kasih sayang dari suaminya.
2. Menerima
nafkah lahir dan bathin yang baik.
3. Dihargai dan
mendapat bimbingan dengan ilmu dan akhlak yang mulia.
4. Mendapatkan
rumah yang aman.
5. Dibantu dan
ditolong jika mendapat kesulitan.
6. Dilindungi
dari orang-orang yang bisa menyakitinya, baik perasaan maupun pikirannya.
Kewajiban istri di rumah tangga yakni:
1.
Mena’ati
suami selama hal itu bukan perbuatan maksiat.
2.
Senantiasa
menetap di rumah dan jika ke luar rumah seizin suami.
3.
Jika
berpuasa sunnah seizin suami jika suami di rumah.
4.
Menjaga
rumah dan harta suami serta dirinya ketika suami tidak ada di sisinya.
5.
Hendaknya
selalu bersyukur dan berterima kasih atas pemberian suami kepadanya dan
senantiasa mendo’a-kannya.
6.
Berbuat
baik kepada keluarga suami dan kerabatnya.
7.
Berhias
untuk sang suami.
8.
Memberikan
waktu khusus bagi suami untuk keperluannya.
9.
Tidak
memberikan harta, kecuali atas izin suaminya.
10.
Tidak
menyebarkan rahasia suami dan menceritakan aibnya kepada orang lain. Apalagi
tentang hubungan suami istri, karena hal ini termasuk perkara yang sangat
dilarang oleh syari’at.
11.
Tidak
menuntut cerai kepada suami tanpa alasan yang dibenarkan syari’at sebab
nantinya ia akan diharamkan mencium bau surga. “Wanita manapun yang meminta cerai kepada suaminya tanpa ada alasan
(yang benar) maka haram baginya (mencium) bau surga”. (HR. Ahmad, Abu Daud,
At-Turmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Ad Darimi, Al-Baihaqi, Al-Hakim)
12.
Ridho
dan ikhlas mengandung anak, menyusuinya selama dua tahun penuh dan memelihara
serta mendidiknya sampai anaknya mencapai usia dewasa.
13.
Menyenangkan
suaminya ketika di rumah, memberikan pelayanan yang baik, dan mencari
keridhaannya dengan memohon masuk surga kepada Allah Ta’ala.
Rasulullah Shollalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Setiap wanita yang meninggal dunia sedang suaminya ridha kepadanya, maka dia masuk syurga.” (HR. Ibnu Majah 1854 dan At-Turmudzi 1161).
Rasulullah Shollalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Setiap wanita yang meninggal dunia sedang suaminya ridha kepadanya, maka dia masuk syurga.” (HR. Ibnu Majah 1854 dan At-Turmudzi 1161).
14.
Tidak
menyakiti suami. Suami yang beriman dan beramal sholih ditunggu oleh bidadari
di syurga. Dari Muaz bin Jabal Radhiallahu 'anhu dari Nabi Shollallahu 'alaihi
wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang wanita menyakiti suaminya di dunia,
melainkan berkata istrinya dari bidadari di syurga, “Janganlah menyakitinya,
semoga Alloh Subhanahu wa ta'ala mencelakakanmu karena sesungguhnya ia hanya
semen-tara menemanimu dan akan meninggalkanmu untuk kembali kepada kami.”
(HR. At-Turmudzi 1174, Ahmad 5/242, Hadits hasan).
15.
Menjaga
diri dan harta suaminya ketika suami tidak berada di rumah.
·
Hak bersama Suami Istri
§ Mensyukuri pernikahan sebagai anugrah
dari Alloh Subhanahu wa ta'ala yang menjadikan halal dan sah sebagai suami
istri.
§ Menjaga amanah berupa anak-anak.
Mendidik dan merawat anak-anak semoga menjadi insan yang bertaqwa dan berbuat
yang terbaik bagi kedua orang tuanya.
§ Bersama-sama menciptakan rumah tangga
Islami. Kebiasaan dan keteladan yang baik dari orang tua akan ditiru oleh
anak-anak mereka. Itulah akhlakul karimah dan merupakan cara memberikan
pendidikan yang paling efektif.
§ Saling melindungi dan menjaga rahasia
masing-masing. Sehingga kelemahan menjadi hilang dan kebaikan semakin tampak.
Rumah tangga penuh dengan kedamaian dan keharmonisan serta kasih sayang. Rasul
mengingatkan sebaik-baik kalian (para suami) adalah yang paling baik terhadap
istrinya. Sebaik-baik wanita sholihah adalah yang taat dan melayani suami dan selalu
membantunya dalam urusan akhirat dengan ikhlas. “Seandainya saya
diperintahkan manusia untuk sujud terhadap sesama niscaya saya akan
memerintahkan kaum wanita untuk sujud kepada suaminya”. (HR. Ibnu Abi
Syaibah dan Ahmad)
Hal itu
menunjukkan betapa besarnya nilai ketaatan wanita terhadap suaminya.
Komentar
Posting Komentar